Sudut Pandang Di Akhir Tahun 2023 Oleh Presiden KAI

Spread the love

Jakarta//(MPBNews) Patriot Bhayangkara — Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) Muhammad Yuntri SH, MH,. memberikan raport merah terhadap penegakan hukum di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Advokat senior ini juga menyebut kondisi penegakkan hukum di Indonesia saat ini sudah berada di titik nadir.

“Rapor merah penegakan hukum era Presiden Jokowi saya berikan berdasarkan pandangan saya terhadap rentetan peristiwa hukum, khususnya pada tahun 2023 banyak peristiwa hukum yang membuat kita miris,” kata Muhammad Yuntri SH,. MH, saat menyampaikan Refleksi Hukum Tahun 2023, pada Minggu (31/12/2023) malam.

Selain itu, Praktisi hukum senior ini mengungkapkan berbagai peristiwa yang menurutnya menggambarkan carut marutnya wajah hukum di Indonesia. Pertama, implementasi UU Cipta Kerja atau yang dikenal publik Omnibus Law pada kasus penggusuran di Rempang Batam, “UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor: 2/2022 tentang Cipta Kerja telah dijadikan jalan oleh pemerintah untuk memuluskan proyek Rempang Eco City. Rakyat yang sudah tinggal turun temurun digusur dengan adanya dalih proyek strategi nasional,” ungkapnya.

Kemudian, lanjut Yuntri, “hanya di era Presiden Jokowi seorang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri terjerat dugaan kasus gratifikasi. Hal ini tentunya telah menambah panjang daftar oknum penegak hukum yang terjerat hukum,” imbuhnya.

Dirinya juga menduga revisi UU KPK hanya digunakan oleh rezim untuk melindungi kelompoknya, penanganan perkara terkesan tebang pilih yang diduga sebagai alat kepentingan politik kekuasaan.

Yuntri juga menyebut soal laporan terhadap kedua putra Presiden Jokowi, Gibran dan Kaesang ke KPK oleh Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubaidillah Badrun, tanpa ada tindak lanjut yang jelas dari lembaga anti rasuah tersebut.

“Laporan terhadap Gibran dan Kaesang terkait dugaan tindak pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkaitan dengan dugaan KKN tidak ada tindak lanjut yang jelas dari KPK,” kata Yuntri yang berprofesi sebagai advokat sejak tahun 1986.

Berikutnya, Yuntri juga mengaku heran atas terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor: 17 Tahun 2022, dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor: 4 Tahun 2023. Intinya Keppres dan Inpres itu mengakui negara telah melakukan kesalahan pelanggaran HAM berat atas peristiwa G30S/PKI tahun 1965 dan 1966, dan negara akan memberikan imbalan ganti rugi kepada ahli waris.

“Rasanya aneh, presiden berani menerbitkan Kepres dan Inpres tersebut, artinya negara mengakui kesalahan orang yang dituduh komunis harus dibatalkan, secara yuridis di Inpres dan Keppres bertentangan dengan TAP MPRS Nomor: 25 Tahun 1966, dimana partai komunis adalah partai terlarang,” jelasnya.

“Ingat!, sejarah telah mencatat kebiadaban PKI yang telah membunuh secara sadis para ulama, tentara, dan aktivis Islam di Madiun tahun 1948. PKI juga telah membunuh tujuh jenderal pada tahun 1965, yang sampai saat ini masih dikenang dan dipandang sebagai perbuatan yang kejam dan tidak berperikemanusiaan,” papar Yuntri yang dikenal vokal sejak menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (FH-Unpad) Bandung.

Kemudian Yuntri juga menyinggung soal pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Ia menilai Presiden Jokowi sudah kehilangan logikanya, panik dengan menawarkan hak konsesi kepada investor.

“Dalam Revisi Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara atau Revisi UU IKN yang disahkan oleh DPR pada Selasa, 3 Oktober 2023 lalu, terungkap mengobral Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun dan Hak Guna Bangunan (HGB) 160 tahun. Ini jelas mencerminkan tidak taat kepada konstitusi dan semakin menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal, memanjakan investor, dan abai terhadap kepentingan rakyat,” ucap Yuntri lagi.

“Tapi anehnya, DPR sebagai pembentuk UU, pengawas maupun budgeting malah mengaminkan apa yang dilakukan presiden,” sambung Yuntri.

Padahal, masih kata Yuntri, IKN belum sempurna, baik dari pembentukan naskah akademisnya, feasibility study atau studi kelayakan maupun kemanfaatan di masa depan.
“Dengan dalih pemerataan ekonomi, mega proyek impian yang penuh dengan kontroversi ini dipaksakan, padahal konsep pemerataan bukan seperti itu, bayangkan kalau anggaran IKN disebarkan ke Indonesia untuk meningkatkan fasilitas kesehatan, menurunkan angka stunting, mengoptimalkan pendidikan dan lain-lain, maka akan dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. IKN diduga untuk kepentingan kelompok dan para konco,” ujar Managing Partner “Yuntri & Partners Law firm” itu.

Dikatakan oleh Muhammad Yuntri. SH,. MH., dan lainnya yang menurutnya menjadi rapor merah adalah soal Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia capres-cawapres yang bertujuan mengakomodir kepentingan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pada Pilpres 2024.

“Kekhawatiran publik itu wajar karena dapat berdampak pada pelaksanaan Pilpres 2024. Publik khawatir Pilpres tidak berjalan sebagaimana mestinya, terutama netralitas penyelenggara pemilu. Terkesan melanggar kode etik bernegara yang juga diduga dilakukan by desain membentuk dinasti keluarga, sementara bagi rakyat pencari keadilan lainnya sangat jauh dari harapan,” pungkasnya.(Red)


Spread the love

Tinggalkan Balasan

Specify Facebook App ID and Secret in the Super Socializer > Social Login section in the admin panel for Facebook Login to work

Specify LinkedIn Client ID and Secret in the Super Socializer > Social Login section in the admin panel for LinkedIn Login to work

Specify Youtube API Key in the Super Socializer > Social Login section in the admin panel for Youtube Login to work

Specify Google Client ID and Secret in the Super Socializer > Social Login section in the admin panel for Google and Youtube Login to work

Specify Instagram App ID and Instagram App Secret in the Super Socializer > Social Login section in the admin panel for Instagram Login to work

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *